ELEGI


ELEGI
( Sebuah Monolog Hati )

     Cerita ini kutulis dengan tinta indah kesetiaan yang tak pernah habis dari kerinduanku.. dengan pena darah dan desah nafas yang menari – nari di atas lembar putih buku kehidupan milikku yang ku simpan dalam sebuah peti berukir “ Cinta “ di satu sudut hati yang tak pernah pasti.


Aku menulis dengan seribu khayal dan sejuta sesal tentang pahit yang masih terasa di bibir hatiku dan tentang sayap – sayap harapan yang sempat terbang tinggi ke langit mimpi hingga kemudian harus patah bersama dengan cintaku yang juga terkapar  “ Mati “ dalam sunyi.


Rintik – rintik air kiriman Dewa Indra semakin deras bagai di curahkan dari tempurung langit, seakan ingin melumat habis debu – debu di setiap ruas jalan yang ku lalui, mereka memaki – maki dan mencaci bahwa aku adalah orang bodoh dan totol yang sedang berjalan mendaki bukit kenyataan yang pahit dan terjalnya batu kepalsuan di sekelilingnya.


Namun akau terus berjalan dan melangkah ..berbekal segumpal rindu dan kesetiaan di cawan cintaku yang masih menggelora, aku tak pernah peduli pada intaian mata – mata sang nasib yang terus menguntitku tak ku hiraukan sejuta umpat dan caci maki dari keadaan yang terus tertawa dan tak pernah berpihak kepadaku. Yang ada di ruang lamunanku … hanya cinta dan kesetiaan yang masih ku genggam.


Hingga sang waktu mempertemukanku dengan wajah dan senyum  yang selama ini menghiasi tidurku …yang selalu menjemput khayalku dengan tarian cintanya dan nyanyian – nyanyian jiwa yang tak benada. Tapi … kemana engkau sembunyikan cinta yang tak pernah mati itu ….? Di mana kau kuburkan rindu dan kesetiaan yang pernah kita ukir bersama ..?. hanya hampa ….kosong dan semu yang tersisa.


Aku seperti Romeo yang harus menelan racun dari cinta yang kuramu sendiri, aku seperti Pronocitro yang harus tertusuk keris dalam sebuah kubangan cinta yang kubuat. Dan harus menanggung seluruh pahit kisah ini bagai Socrates yang mempertanggung jawabkan Filsafatnya di hadapan racun hingga semuanya harus mati. Tapi aku mati dan beku dalam keraguan laksana si Hamlet yang terus menerus di ikuti ketidak pastian …. Apakah memang semuanya serba tak menentu seperti Teori Relativitas Albert Eisnteins ?, apakah memang benar bahwa dunia ini At Bottom Irrational and Charotic , yang tak pernah mutlak …?.














Aku tak ingin memikirkan tentang semua itu … sebab aku tengah menikmati seribu gelegar petir yang menyambar dan melempar jiwaku hingga aku terpental jauh di luar batas putaran sang waktu. Aku seperti terpenjara kembali dalam sebuah terali sepi dan sunyi dalam kesendirianku dengan berpuluh – puluh anak panah dan tombak pahit yang masih menancap di dada dan punggungku, sepasang kaki dan tanganku seperti tercabik – cabik oleh cakar kepalsuan yang angkuh…. hatiku menjadi dingin membeku …dan mungkin hampir sama dengan puncak Mount Everest yang tak pernah mencair meski hanya sesaat.

Ku biarkan aku terpaku di bawah pohon rindang keraguan … mencoba untuk menghempaskan segumpal rindu yang berubah menjadi dungu…. Untuk melempar jauh bangkai cinta yang masih berada di sampingku. Sedikit  demi sedikit mulai ku hapus lukisan hati yang dulu ku tulis di atas lembar daun – daun surga dan yang pernah ku gurat dengan tinta emas pada dinding nuraniku. Ku biarkan kenyataan ini terus mengalir bagai air yang menghanyutkan aku sampai kemudian ia lelah dan melepaskanku.


Cerita yang ku tulis dengan tinta kebahagiaan inipun harus berakhir dengan pahitnya sebuah luka di jari dan jantung hati jiwaku. Dan perjalananku harus terhenti dengan sebuh kematian …. terkaparnya Sang Cinta yang selama ini tak pernah mati. Aku hanya mampu bergumam pada diriku sendiri … “ Sisakan tangismu untuk hari esok, karena esok masih butuh air mata, tenanglah jiwaku … karena malam ini ..mimpi tengah enggan tuk menyapa tidurmu …. dan bahkan anginpun …tak pernah mendengar cerita ini …”.




Temanggung - Magelang – Yogyakarta
11 Desember 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Saran/Kritik disini Untuk Kelengkapan dan Kebaikan Blog Ini